Bisnis.com, JAKARTA – Meski pemerintah telah memberikan insentif, analis menilai emiten di sektor industri baja masih akan menghadapi persaingan yang ketat dari produk impor.
Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan bahwa rencana pemerintah menurunan tarif listrik dan gas, melonggarkan impor scrap, serta mengeluarkan slag baja dari limbah B3 akan membangu emiten baja menurunkan biaya produksinya.
Meski begitu, menurutnya seberapa besar dampaknya terhadap penurunan biaya produksi masih harus memerlukan kajian lebih dalam. Selain itu, meski akan lebih efisien, emiten baja nasional tetap akan menghadapi tantangan dari sisi persaingan dengan produk impor.
“Kalau dengan adanya insentif tersebut pengurangan beban pokok penjualan tidak signifikan, karena mana harga jualnya masih lebih tinggi dari produk impor, berarti tidak ada pengaruhnya. Artinya insentifnya itu hanya dinilai bagus secara teori, tapi praktiknya malah kurang,” jelasnya kepada Bisnis.com, Jumat (14/2/2020).
Adapun, dari sejumlah pelaku industri baja yang melantai di pasar modal, menurutnya PT Steel Pipe Industry of Indonesia Tbk. (ISSP) menjadi pilihan paling menarik.
Menurutnya, emiten ini memiliki basis produksi baja dari hulu hingga hilir, sehingga hasil produksinya memiliki nilai tambah lebih baik. Dia memasang target harga untuk emiten berkode saham ISSP ini sebesar Rp220 per saham.
Adapun, emiten lainnya seperti PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. dinilai masih hanya mengandalkan produk baja lembaran yang memiliki nilai tambah rendah.
Produk pipa baja seperti yang diproduksi oleh Spindo juga dinilai masih memiliki potensi pasar yang baik pada tahun ini seiring dengan masih tingginya kebutuhan pembangunan infrastruktur.